Cerita Pendek: Marahnya Ayah
7:01 AM
November, 29
2015
Oleh : Herdi Herdiansyah
Malam itu ayah berteriak dan
membanting meja. Kami semua takut, kami tak mengerti kenapa ayah menjadi
monster. Sebelumnya dia adalah orang paling baik yang aku ketahui. Kami sering
bercanda bersama. Tapi malam itu sangat berbeda, ayah menjadi sangat kejam.
Seperti bukan ayah yang biasa aku kenal.
Kejadian ini berawal dari
keberangkatan ayah keluar rumah di pagi hari. Dia pergi menemui beberapa teman,
ya untuk minum kopi dan membicarakan pekerjaan, atau sekedar silaturahmi.
Sebelum ayah pergi ibu menyiapkan sarapan dan dihidangkannya di atas meja. Ayah
yang terburu-buru berjalan dari lantai dua rumah menuju kamar mandi di sebelah
dapur, tak menghiraukan ajakan ibu untuk sarapan. Keadaan normal seperti
hari-hari biasa dalam seminggu. Aku di depan televisi menikmati acara
kesukaanku, kartun. Tak peduli, kartun apa yang kutonton. Aku hanya tahu bahwa
ini adalah siaran yang lebih baik dari semua siaran di pagi hari.
Aku tak suka menonton
berita, karena itu semua membosankan. Setiap pagi semua berita berisi tentang
orang yang mati, bencana, kejahatan, dan masih banyak informasi tidak penting
yang aku ketahui. Siaran lain dalam tv pagi hari yang tidak aku suka adalah
ceramah agama. Pada ceramah ini berisi tentang ajaran agama seperti di sebuah
pengajian dekat rumah, banyak dihadiri ibu-ibu. Mereka tega meninggalkan
anak-anak di rumah untuk berada di tv pagi hari. Kata ibu biasanya untuk
persiapan masuk tv seperti itu harus datang di stasiun sejak subuh hari, jam
dua.
Aku tahu di stasiun banyak
orang jahat, tidak sengaja suatu hari aku mendengar berita tentang orang yang
dirampok di stasiun. Jam 2 pagi, bagaimana mereka bisa ada di sana sepagi itu,
apa yang akan anak mereka pikirkan. “ibu menghilang, ada yang menculiknya
malam-malam” mungkin itu yang anak mereka katakan. Seperti kejadian waktu aku
ditinggalkan ibu ke pasar, membeli sayuran dan kantong plastik dari Mang Yana.
Aku mengira ibu telah diculik.
Ayah telah selesai mandi,
tapi ayah tidak melihat sarapan di atas meja. Dia naik ke lantai dua mencari
baju dan celana. Padahal ini hari sabtu, katanya ayah libur tapi sibuk sekali.
Dulu waktu kami baru pindah ke bandung, setiap minggu ayah membawaku dan ibu ke
Monumen Perjuangan. Di sana banyak gambar di dinding menggambarkan beberapa
orang dengan tombak, dan ada yang mati. Beberapa gambar lainnya, ibu-ibu
membawa bakul tempat menyimpan sayuran.
Kata ayah, bangunan monumen
yang menyerupai perahu bukan kebetulan. Ada makna dibalik pembangunannya.
Katanya dulu bandung ditutupi oleh air dan orang-orang hanya melewatinya dengan
perahu. Tak ada nama kota bandung. Kemudian setelah banjir selesai, bukit-bukit
mulai terlihat. Beberapa masyarakat mulai tinggal di sana, kemudian menamai
bandung. Kata yang diambil dari bahasa sunda yang artinya perhatikan. Karena
sejarah awal warga yang menemukan bandung berkata seperti itu. Orang lain yang
berkata bandung dari asal kata bendungan. Karena dulu air terbendung di sini.
Aku tak peduli, aku hanya
senang melihat gambar-garbarnya. Gambar yang berada di tembok-tembok dalam
layar perahu ini kata ayah menggambarkan bahwa tempat ini merupakan saksi
sejarah perkembangan kota bandung, ayah menyebutnya perahu sejarah peradaban
bandung. Konon, itu bukan hanya monumen tapi di dalamnya terdapat kantor yang
menyimpan data sejarah kota bandung. Teman-teman di dekat rumah bilang
ruangannya sangat besar, dan banyak orang menggunakan seragam di sana. Di sana
banyak diorama yang menggambarkan perkembangan kota bandung. Tapi tempat itu
sangat rahasia, anak-anak tidak diperbolehkan masuk. Juga para orangtua yang
tidak bekerja di sana tidak diperbolehkan masuk. Aku masih belum bisa menemukan
jalan masuk ke ruang bawah tanah tersebut, tapi ada gerbang misterius di ujung
tembok penuh gambar. Gerbang tua yang sepertinya sudah jarang digunakan.
Kebiasaan ayah setelah
mandi, ayah berteriak minta celana dalam ke ibu. Ayah selalu lupa menyimpan
celana dalam. Ibu selalu siap dan mengerti kondisi ayah tersebut. Pagi ini
tanpa matahari, padahal sudah jam delapan pagi. Aku tetap di depan tv sambil
melihat sarapan yang tidak disentuh, ditambah ayah yan ke sana- ke mari
mempersiapkan sesuatu sebelum pergi. Sudah beberapa sabtu, ayah tak mengajak
aku dan ibu pergi ke monumen. Walaupun tempatnya cukup dekat, tapi kelihatannya
waktu yang ayah miliki tak sebanyak dulu. Ayah lebih senang bermain dengan
teman-temannya. Mungkin mereka juga pergi ke monumen bersama. Tapi kenapa tak
mengajakku?
Ibu memberi ayah 50 ribu
rupiah sebelum ayah berangkat. Aku tak pernah memegang uang sebesar itu. Kata ibu
aku belum butuh uang sebanyak itu, “masa beli cilok pake uang segitu, nih gope
aja” kata ibu, kalau aku meminta uang sebanyak itu. Ayah kemudian pergi sambil
naik motor bebek kesayangannya. Setiap pagi dan setelah pulang ayah selalu
mencuci motor itu, kata ayah “Ini motor bersejarah, motor pertama yang ayah
punya”. Walaupun memang sedikit kuno, tapi motornya tetap bersih dan suara khas
dari knalpotnya selalu mengingatkan ibu kalau ayah sudah pulang.
Sekarang tinggal kami
berdua, aku dan ibu. Rumah menjadi semakin sepi ketika ayah pergi, tak ada
suara orang berjalan seperti tentara dan berteriak memanggil ibu karena mencari
celana dalam. Aku selalu ditemani tv setiap pagi, jadi aku tak pernah kesepian.
Kecuali, setelah jam sepuluh. Karena tak ada kartun lagi di tv. Sesekali
setelah jam tersebut, ibu menonton film sinetron. Isinya cuma remaja-remaja dan
cinta-cinta. Aku tak suka acara seperti itu.
Biasanya setelah selesai
menonton, aku pergi keluar rumah mencari teman untuk bermain. Kebetulan, pagi
ini mereka sedang berkumpul di lapangan. Sepertinya, mereka sedang merencanakan
sesuatu. Aku datang dan menghampiri mereka. Situasinya terlihat kurang baik,
ada bola milik salah satu anak kempes. Jadi mereka tidak bisa bermain
sepakbola. Tentu, ini adalah hal yang buruk. Apa yang mungkin dimainkan oleh
kami, selain bermain sepakbola. Lapangan ini menjadi satu-satunya tempat kami
bermain.
Sebelum ada bangunan
kos-kosan di daerah rumah, kami biasa bermain di kebun milik Mang Yayat. Di
sana, kami dapat melakukan banyak hal. Banyak tanaman yang bermanfaat dan bisa
digunakan untuk melakukan berbagai permainan. Seperti tahun lalu, aku masih
ingat bermain dengan batang pisang yang dibuat menjadi pistol-pistolan. Ada
dahan kelapa yang sudah tua dipakai untuk permainan seluncur. Kami merasakan
kesenangan yang sangat waktu itu. Tapi, Mang Yayat sudah tidak punya lahan
kebun lagi, sekarang dia membangun kontrakan.
Beberapa anak di tengah
kebingungan kami, malah bermain dengan hp mereka. Barang yang tidak mungkin aku
miliki, mengingat keuangan keluargaku yang tidak berlimpah. Mereka cenderung
bermain sendirian dan tidak mau diganggu, apa senangnya bermain seperti itu?
Padahal masih banyak teman disini, tapi mereka asyik sendiri dengan hpnya.
“kalian main apa sih?” aku
bertanya.
“ini main COC” salah satu
anak menjawab.
“emang rame main yang
gituan? Bisa main berdua ga?”
“Gak bisa, mainnya harus
sendirian”
“huu pelit, punya yang gitu
aja ga ngasih. Nanti aku beli tujuh”
Karena cukup kesal aku pergi
dan menjauhi mereka. Nampaknya mereka serius tak mau diganggu dengan hpnya.
Hari sudah terlalu siang,
aku merasa kepanasan. Matahari membakar seluruh badanku, ini pertanda kalau aku
harus pulang. Dalam perjalanan pulang menuju rumah terlihat Ceu Idar sedang
kesusahan membawa barang belanjaan, tiba-tiba sebuah motor melaju kencang dan
menyenggol tangan Ceu Idar. Seluruh barang belanjaannya berantakan. Aku berlari
mendekat, tapi di gang yang tidak terlalu luas itu, tak ada orang lain yang
ikut membantu kecelakaan tadi. Aku ingat Ceu Idar karena mamah sering belanja
sayuran ke warungnya. Aku tak dapat membantu banyak, tapi jelas terlihat Ceu Idar
kesakitan. Aku berlari ke rumah dan meninggalkan Ceu Idar.
Aku berlari menabrak pintu
rumah, aku buru-buru mencari mamah. “mah, mah, mah” aku berkata, “ Ceu Idar
ketabrak motor tadi mah, di gang deket belokan rt 5”. Ibu segera pergi
menjemput Ceu Idar, aku ikut di belakang ibu. Setelah sampai di sana, Ceu Idar
masih ada di pinggir jalan. Dengan sayurannya yang berantakan dan berserakan di
jalan. Rumah terlihat sepi di sekitarnya seperti tak berpenghuni. Ceu Idar
kemudian diantar ibu pulang ke rumahnya. Kejadian ini jarang terjadi di daerah
rumah, kami tahu jalanan semakin sempit. Bahkan ayah jarang ngebut kalau bawa
motor di daerah rumah. Takut ada orang yang sedang jalan terserempet.
Ibu dan aku pulang ke rumah
setelah mengantar Ceu Idar. Sarapan buatan ibu masih belum tersentuh, tak ada
orang di rumah yang memakannya. Mungkin, sarapan ibu tak seenak acara makanan
di tv. Tapi, tahu gorang, tempe, dan sambel buatan ibu yang paling enak. Tak
ada seorangpun yang lebih tahu dibanding diriku, aku selalu jadi yang pertama
merasakan ibu. Walaupun sudah dingin masih terasa gurih dan sambelnya memang
dibuat pedas. Air mulai keluar dari hidung dan mata. “Pedas ini menyiksaku.
Tapi nikmat”. Setelah selesai makan sarapan di tengah hari, aku tertidur. Mulut
ini masih terasa terbakar karena sambel geledek buatan ibu. Aku tidur sedikit
menganga.
Ayah di luar sana
sedang melakukan sesuatu, mungkin jika ayah bertemu dalam mimpi – ia akan
menyayangi ibu lebih, karena hari ini ia telah membantu Ceu Idar. (Herdi
Herdiansyah)
0 comments